Saat sebelum undangan itu datang kepadaku, aku sudah lebih dulu tahu kapan kau akan menikah. Tentu hari itu adalah hari dimana aku ingin bersembunyi, atau mungkin mati saja untuk beberapa hari sebelum dan sesudahnya. Itupun aku bukan tahunya darimu, melainkan dari temanku sendiri. Dan untuk undangan, barangkali kau secara langsung yang akan memberikan undanganmu itu padaku. Tapi nyatanya lewat perantara. Aku berharap ketika kau yang memberikan undangan itu, kau akan memberikan sepatah dua patah kata untuk yang terakhir kalinya. Ternyata percakapan terakhir kita saat kau sedang berulang tahun yang ke-29. Selebihnya tidak ada sama sekali. Dan saat itu juga aku tahu, bahwa memang kau tidak mencintaiku seperti apa yang dikatakan oleh teman-temanku. Padahal yang selama ini aku adalah orang satu-satunya yang masih percaya bahwa kau pasti mencintaiku suatu saat nanti.
Aku tidak tahu, entah sejak kapan kau memiliki hubungan yang intim dengan laki-laki itu. Yang aku tahu kau dijodohkan dengan keluarganya sebagai syarat rumah yang kau tinggali saat ini yang akan menjadi tempat tinggalmu kelak yang tak jauh dari tempatmu bekerja. Bahkan ketika aku mendengar cerita itu, aku masih yakin kau tidak ada pilihan lain dan terpaksa terhadap suatu pilihan. Padahal kau sudah bertunangan. Tentu aku masih menaruh harapan besar itu. Sampai hari pernikahanmu tiba, akhirnya aku paham betul bahwa mencintaimu tidak bisa dipaksakan.
Aku pikir proses setelah pertunangan itu berlangsung lama. Ternyata hanya berjarak 45 hari saja. Hingga tak bisa lagi aku menangisi sesuatu kepergianmu. Hanya termangu memikirkan sesuatu yang sia-sia. Berbulan-bulan sebenarnya aku butuh waktu untuk itu. Begitupun yang aku tahu kau juga butuh waktu untuk itu. Ternyata waktu yang dibutuhkan itu adalah untuk menunggumu mendapatkan kekasih baru. Kepergianmu sedikitpun tak meninggalkan jejak perpisahan, sepatah kata bahkan permintaan maaf. Semua sia-sia aku meniti perjalanan ini.
Aku berusaha tegar menghadapi apa-apa yang sudah menjadi takdirku. Bahkan di hari pernikahanmu aku ingin hadir sebagai salam perpisahan yang terakhir. Tapi aku takut tak sanggup untuk menyaksikan secara langsung kau bersanding dengan laki-laki itu. Aku tangisku pecah di sana. Jadi aku titip saja sesuatu yang mungkin bisa kau baca-baca di waktu senggangmu bahwa yang aku kirimkan adalah sebuah buku puisi yang berisi rangkuman kalimat-kalimat yang aku buat untukmu. Agar kau tahu, aku mencintaimu dengan sebuah keseriusan. Bukan main-main. Semoga kau membacanya.
Dan di sini, aku masih tidak percaya dengan sesuatu yang sedang terjadi kepadaku. Ternyata cintaku tak terbalaskan. Selama ini aku menunggu yang tak pasti. Selama ini hidupku kuhabiskan dari seseorang yang menyia-menyiakan. Lagi-lagi aku termangu di atas ranjang tempatku memikirkan beribu-ribu harapan yang telah kuletakkan di atas telapak tanganmu. Orang bilang aku belum ikhlas. Padahal dengan sangat sadar aku ikhlas. Tentu aku ikhlas dengan kepergianmu. Aku ikhlas dengan semua yang telah terjadi. Hanya saja aku telah menyia-nyiakan sesuatu yang menjadi sia-sia. Aku mati dalam kesia-siaan sekarang.
Percayalah sebelum aku berada di titik ini, sebelum aku bisa seikhlas ini aku pernah memaksa Tuhan agar kita ditakdirkan dari apa-apa yang aku doa dan harapkan selama 5 tahun belakangan ini. Sebab dalam setiap doaku aku memohon pada Tuhan berharap kau adalah pelabuhan terakhirku.
Secinta itukah aku? Tentu. Bertahun-tahun aku membayangkan tinggal dalam satu rumah denganmu. Tentu angan-angan yang begitu sakit bila sampai itu tidak terjadi. Nyatanya 17 Februari yang menghancurkan segala harapanku. Kau telah pergi. Dan aku kehilangan segalanya. Aku terbakar dalam api perpisahan. Api itu menghanguskan dan melenyapkan apa-apa yang telah aku bangun dari harapan-harapan kecil berbentuk doa-doa yang aku panjatkan kepada Tuhan. Tentu aku telah kehilangan separuh diriku sendiri.
Kini aku sendiri disini bersama abu-abu yang masih tersisa dari segala yang membakar harapanku. Kau tak lagi bisa digapai. Kau tak lagi bisa diharapkan, dan kau tak lagi bisa aku doakan. Tentu aku kesusahan mencari penggantimu. Dan segalanya telah terkubur mati.
0 Comments